Di wisma atlit, jakabaring, palembang, sumatera selatan



Download 0,64 Mb.
bet7/7
Sana04.02.2017
Hajmi0,64 Mb.
#1810
1   2   3   4   5   6   7
(6) Meminta Menteri Pendidikan Nasional untuk mengeluarkan kebijakan yang menjamin bahwa lulusan perguruan swasta (baikdasar, menengah maupun tinggi) yang yayasan penyelenggaraannya belum menyesuaikan dengan UU Yayasan dan Badan Hukum Penyelenggaraannya belum memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, ijasahnya tetap sah dan legal.

Berikut ini dilampirkan pokok pikiran BMPS untuk Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi RI (terlampir)


C. Rekomendasi Persoalan hukum UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Yayasan Pendidikan.
Implikasi Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 58/PUU-VIII/2010 tgl 29 September 2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh penyelenggara yayasan pendidikan swasta H. Machmud Masjkur dan Suster Maria Bernardine, SND, SH, yang didampingi para Advokat dan pekerja Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH Jakarta) dan Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LBH NU) yang tergabung dalam “Tim Advokasi Untuk Keadilan Pendidikan Dasar Anak Bangsa”.
Pasal yang diuji MK tentang Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menetapkan bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat "dapat" memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Dalam ayat yang mengandung kata "dapat" memperoleh, diganti menjadi "wajib memperoleh" bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Implikasi dari keputusan MK RI tersebut harus diantisipasi dengan tiga pendekatan yakni:



      1. Presiden terbitkan Inpres peninjauan ulang APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/ Kota.

      2. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat proaktif mensosialisasikan keputusan MK RI kepada eksekutif, legislatif dan masyarakat.

      3. Pengajuan gugatan ke PTUN atas APBN/ APBN yang inkonstitusioanal (melanggar konstitusi). Keputusan PTUN juga dapat memberhentikan Bupati/ Walikota manakala secara sengaja melakukan diskriminasi dan melakukan tindakan inskonstitusi.

Jakarta, 12 November 2011

lampiran pokok pikiran BMPS untuk Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi RI


POKOK-POKOK PIKIRAN

TTG PERMOHONAN JUDICIAL REVIEW UU YAYASAN


TIM ADVOKASI BMPS Pusat

Maria Siti Wahyuandari





  1. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Sebagai sebuah institusi, yayasan pendidikan sebenarnya sudah lama ada. Adalah suatu kenyataan bahwa pada jaman penjajahan, kesempatan untuk meraih cita-cita melalui pendidikan formal bisa dikatakan sangat kecil bahkan tidak ada. Kehadiran banyak yayasan pendidikan menawarkan semangat berbagi. Semangat inilah yang membuat Pendiri/Pengurus Yayasan tergugah untuk mendirikan kegiatan usaha yang berhubungan dengan hak dasar manusia untuk memperoleh pendidikan.
Tentunya, kegiatan social yang mereka lakukan bukan hanya didasarkan pada belas kasih atau amal saja, tetapi lebih dari itu, pendirian sekolah-sekolah merupakan wujud dari tanggung jawab social untuk mengarahkan banyak orang pada kehidupan yang lebih baik. Tanggung jawab social ini melibatkan tanggung jawab moral dari pendiri dan pengurus dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Yayasan dapat melakukan kegiatan memperoleh laba tetapi mengejar laba bukanlah tujuan utama yayasan (yayasan adalah lembaga nirlaba). Tujuan akhir dari pendirian yayasan diarahkan pada public benefit (kebaikan umum), yaitu tujuan social dan kemanusiaan. Mengacu pada tujuan tersebut, dapat dikatakan bahwa yayasan membantu pemerintah/Negara dalam menjalankan tugas dan kewajibannya kepada warga negara, dalam hal ini di bidang pendidikan.
Sampai dengan tahun 2001, keberadaan yayasan didasarkan pada kebiasaan, jurisprudensi atau Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri. Dalam bidang pendidikan, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pendirian sekolah adalah bahwa penyelenggaranya adalah Yayasan atau badan hukum yang bersifat social lainnya.
Hal ini tercantum dalam PP No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Pra-sekolah Pasal 8 (2); PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar Pasal 5 (2); PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Pasal 6 (2); dan KepMendiknas No. 060/U/2002 ps. 13 (2) tentang Pedoman Pendirian Sekolah, yang menyatakan “Pendirian Satuan pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, HARUS MEMENUHI PERSYARATAN bahwa PENYELENGGARANYA adalah YAYASAN atau badan hukum yang bersifat sosial lainnya”.
Lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan revisinya UU No. 28 Tahun 2004, tidak dapat dipungkiri menimbulkan berbagai kontroversi seputar status badan hukum yayasan. Pada prinsipnya (pasal 71 ayat (1) UU No. 28/2004), yayasan yang didirikan dan telah menjadi badan hukum sebelum berlakunya UU Yayasan, tetap diakui sebagai badan hukum apabila yayasan tersebut telah:

  1. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau

  2. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait.

Namun pengakuan ini hanya berlaku untuk 3 (tiga) tahun, yaitu sampai tanggal 6 Oktober 2008, dan yayasan tersebut wajib merubah anggaran dasarnya sesuai dengan ketentuan UU Yayasan.
Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut, tidak dapat lagi menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut dalam PP No. 63 Tahun 2008 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Tentang Yayasan, pasal 39 yang menyatakan bahwa:

“Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan pasal 71 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang, harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan pasal 68 Undang-Undang.”


(pokok pasal 68:

  1. Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai kegiatan yang sama.

  2. Kekayaan sisa hasil likuidasi dapat diserahkan kepada badan hukum lain yang mempunyai kegiatan yang sama dengan yayasan yang bubar.

  3. Apabila tidak diserahkan kepada yayasan/badan hukum lain, maka harus diserahkan kepada Negara untuk digunakan sesuai dengan kegiatan yayasan yang bubar.)




  1. POKOK-POKOK UU YAYASAN YANG BERTENTANGAN DENGAN UUD’45

Pasal 71 UU No. 16 Tahun 2001 juncto UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

  1. Pada saat UU ini berlaku, Yayasan yang:

    1. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau

    2. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;

tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku, yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan UU ini.


  1. Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan dalam ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan UU ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal UU ini mulai berlaku.

  2. Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.

  3. Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri atas permohonan Kejaksanaan atau pihak yang berkepentingan.

POKOK UUD’45 terkait dengan UU Yayasan:



  1. Pembukaan UUD’45 alinea 4:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, …”

(kita menyelenggarakan pendidikan, membantu melaksanakan tugas negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan banyaknya yayasan pendidikan yang dibubarkan, otomatis anak-anak sekolah/madrasah harus kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan)




  1. Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

(Dengan pembubaran yayasan, akan banyak sekali orang yang kehilangan haknya untuk mempunyai pekerjaan. Yayasan yang bubar tidak bisa mempekerjakan orang lagi. Dampaknya pengangguran besar-besaran, kemiskinan dan memicu kekerasan)


  1. Pasal 28C ayat (1) : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi …”




  1. Pasal 28E ayat (1) : “Setiap orang bebas …, memilih pendidikan dan pengajaran,”

(Kalau sedemikian banyaknya yayasan pendidikan dibubarkan, maka orang pada akhirnya tidak mempunyai hak untuk memilih pendidikan seperti apa yang diinginkan) – tidak memperhatikan ke-khasan penyelenggaraan pendidikan, misalnya pendidikan madrasah, atau bebas memilih antara mau Negeri atau Swasta)


  1. Pasal 31 ayat (2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

(Di daerah terpencil, yang ada hanya sekolah/madrasah swasta, pemerintah tidak mendirikan sekolah/madrasah negeri. Apabila yayasannya dibubarkan, otomatis sekolah harus ditutup (ketentuan ttg pembubaran yayasan UU Yayasan). Anak-anak tidak mendapat hak atas pendidikan dan pengajaran. Guru akan menganggur.


  1. PERMOHONAN

Primair:

  1. Membatalkan ketentuan pasal 71 UU Yayasan

  2. Menghapuskan kata “paling lambat 3 (tiga) tahun” dalam pasal 71 ayat (1)

Subsidair:

Memohon perpanjangan waktu untuk penyesuaian anggaran dasar


INFORMASI SINGKAT

MENGENAI

BADAN MUSYAWARAH PERGURUAN SWASTA (BMPS) PUSAT

DALAM RANGKA HUT KE-39

TANGGAL 12 DESEMBER 2010

DI JAKARTA

oleh: Jerry Rudolf Sirait*)




  1. PENGANTAR

Allahu Akbar, Tuhan Allah Maha Besar, Terpujilah nama-Nya Haleluya,

Bersama hadirin sekalian, kami memanjatkan puji dan puja kepada Tuhan Allah yang Esa, atas berkat dan penyertaan-Nya bagi kita sekalian sehingga kita dapat menghadiri acara seminar nasional pendidikan dalam rangka HUT ke-39 BMPS tema” DENGAN SEMANGAT CEMPAKA PUTIH DALAM HUT KE-39 BMPS, KITA MANTAPKAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA, KITA TINGKATKAN INTEGRITAS PENDIDIKAN DAN KEMAMPUAN DAYA SAING”).

Bagi rekan-rekan pengurus di BMPS, baik di tingkat pusat mau pun tingkat provinsi dan kabupaten/kota, informasi ini sudah kami sampaikan, tetapi karena acara ini dihadiri rekan-rekan pegiat pendidikan lainnya, maka kami memandang informasi singkat ini perlu di komunikasikan kepada Ibu/Bapak sekalian.


  1. SEKILAS BMPS (BADAN MUSYAWARAH PERGURUAN SWASTA)

Pada tanggal 8 Nopember 1971, bertempat di ruangan Perpustakaan Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jalan Diponegoro No. 86, Jakarta, diadakan pertemuan antar Pengurus Organisasi Induk Perguruan Swasta Tingkat Nasional yang terdiri dari:

    1. Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, berkedudukan di Jakarta;

    2. Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah, berkedudukan di Jakarta;

(sekarang: Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah).

    1. Majelis Pusat Pendidikan Kristen di Indonesia (MPPK), berkedudukan di Jakarta;

((sekarang: Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK))

4. Kantor Waligereja Indonesia Bagian Pendidikan,

berkedudukan di Jakarta.

((sekarang: Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK))

Pertemuan tersebut diadakan atas undangan Majelis Pusat Pendidikan Kristen di Indonesia (MPPK) sebagai kelanjutan dari pembicaraan Bapak Ki Moch Tauchid (Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa), Bapak Arso Sosroatmodjko, S.H. (Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah) dan Bapak A. Situmorang (MPPK) pada Raker Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Sience Development Centre IKIP, Jakarta, Agustus 1971, untuk menjajagi kemungkinan mengadakan kerjasama antar Perguruan Swasta.

Pada pertemuan tersebut masing-masing menyadari bahwa Perguruan Swasta yang terdiri dari berbagai golongan/aliran mempunyai kesamaan dan persamaan. Disadari pula adanya panggilan bersama bahwa Perguruan Swasta turut-serta secara aktif mengembangkan pendidikan di dalam masyarakat Indonesia. Semua merasa terlibat, dalam satu masalah besar, yang meliputi Bangsa Indonesia dan berketetapan hati (committed) bersama-sama membangun dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mewujudkan suatu Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Berdasarkan kesadaran itu pertemuan mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1). Membentuk satu badan kerjasama dari semua organisasi induk penyelenggara Perguruan Swasta tingkat nasional untuk membicarakan hal-hal yang urgent terkait dengan kerjasama tersebut, tetapi bukan super body;

2). Mengadakan pertemuan yang lebih luas sifatnya (kongres/musyawarah nasional).

3). Perguruan Swasta lainnya yang bersifat nasional turut diundang dalam pertemuan tersebut.

Maka untuk itu dibentuklah suatu badan kerjasama antar Perguruan Swasta dengan nama: MUSYAWARAH PERGURUAN SWASTA, disingkat MPS. Untuk pertama kalinya Pengurus Harian terpilih adalah sebagai berikut:

Ketua : Ki Moch. Tauhid (Tamansiswa)

Wakil Ketua : Arso Sosroatmodjo, SH. (Muhammadiyah)

Sekretaris : A. Situmorang (MPPK)

Pembantu Umum : Dr. M. Hutasoit (MPPK)

Pada tanggal 3 Januari 1972, Pengurus Harian menyusun dan mensahkan Tata-Tertib MPS yang menetapkan tujuan, usaha, keanggotaan, kepengurusan, rapat-rapat, keuangan dan ketentuan-ketentuan lainnya mengenai MPS. Kemudian beberapa anggota bertambah lagi, antara lain Persit Kartika Chandra Kirana, Aisyiyah dan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.

Sebagai program yang pertama, Pengurus MPS menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) Perguruan Swasta Indonesia pada tanggal 22 s/d 26 Agustus 1972 di Jakarta, dihadiri 27 Perguruan Swasta dari seluruh Indonesia dengan 245 orang peserta (catatan: dihadiri pula oleh Perguruan-perguruan Tinggi Swasta, dan 1) Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-Kanak Indonesia (GOPTKI), 2) Persatuan Potensi Wanita Polri Bhayangkari, 3) Yayasan Persekolahan PGRI). Munas menghasilkan sejumlah keputusan, resolusi, dan ”Ikrar Para Peserta”. Fokus resolusi tertuju pada 3(tiga) masalah pokok, yaitu: 1) kedudukan dan fungsi serta usaha mempertinggi derajat Perguruan Swasta, 2) Sekolah Pembangunan, dan 3) Perguruan Tinggi Swasta. Ikrar para peserta yang kemudian terkenal dengan sebutan Ikrar Cempaka Putih adalah sebagai berikut: ”Bahwa Perguruan Swasta di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai panggilan untuk ikut serta didalam pembangunan masyarakat Indonesia dengan mengembangkan dan meluaskan pendidikan nasional bagi segenap rakyat Indonesia. Bahwa Musyawarah Perguruan Swasta (MPS) merupakan wadah kerjasama antar kami semua dengan suasana kekeluargaan dalam rangka mencapai cita-cita bersama”. Ikrar ini ditandatangani semua peserta Munas (245 orang).

Dalam perkembangan selanjutnya, pada Munas VII MPS tanggal 14 s/d 17 Juli 1996, yang berlangsung di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, Jawa Barat, MPS menjadi BMPS (BADAN MUSYAWARAH PERGURUAN SWASTA), tidak lagi sekedar musyawarah tetapi ia sudah menjadi badan. Pada awal tahun 2007, BMPS telah memiliki badan hukum setelah disahkan oleh Notaris Yudo Paripurno, S.H., dengan Akte Notaris Nomor: -7-, Tanggal 21 Desember 2006.

Sekarang ini, dalam ulang tahunnya yang ke-39, BMPS Pusat terdiri dari 12 organisasi induk, yaitu:


  1. Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa;

  2. Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah;

  3. Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK);

  4. Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK);

  5. Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama;

  6. Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Aisyiyah;

  7. Dharma Pertiwi;

  8. Perwari (Persatuan Wanita Indonesia);

  9. Perkumpulan Pembina Lembaga Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia

(PPLP PGRI);

  1. Badan Koordinasi Penyelenggara Pendidikan PATRA (BKPP PATRA)

(dahulu: Yayasan Kesejahteraan Pegawai Pertamina);

  1. Yayasan Pendidikan Muslimat Nahdlatul Ulama.

  2. Yayasan Kemala Bhayangkari.

BMPS sudah menyelenggarakan Munas sebanyak 9(sembilan) kali. Munas ke-9 di Jakarta, Nopember 2006 yang lalu. Jika Tuhan berkenan, BMPS akan menyelenggarakan Munas ke-10 pada sekitar Mei/Juni 2012 di Palembang, Sumatera Selatan (BMPS Prov. Sumatera Selatan sebagai Tuan/Nyonya Rumah).

Ada pun Pengurus BMPS Pusat adalah sebagaimana terlampir (lampiran-1).

Pada periode ini (semula 2006-2011, sekarang 2006-2012, karena tahun 2011, Prov. Sumatera Selatan Tuan/Nyonya Rumah SEA GAMES XXVI), BMPS telah melaksanakan 3(tiga) kali Mukernas, disamping kegiatan-kegiatan lainnya berskala nasional dan daerah. Mukernas ke-3 diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara (BMPS Prov. Sulawesi Utara sebagai Tuan/Nyonya Rumah) awal Mei 2010 yang lalu yang oleh BMPS dianggap monumental. Mukernas tersebut sekaligus sebagai puncak perayaan Hardiknas bersama-sama Pemerintah & Pemerintah Daerah. Mukernas yang didukung penuh oleh Perguruan-perguruan Kristiani di Sulawesi Utara (Katolik & Kristen/MPK). Wakil Ketua MPR-RI, Ny. Melani Leimena Suharli yang membuka Mukernas. Gubernur Sulawesi Utara, Drs. S H. Sarundajang membuka Perayaan Hardiknas (defile pendidikan, pameran pendidikan dll). Sekjen Kemendiknas RI Prof. Dr. Dodi Nandika memberi sambutan mewakili Menteri Pendidikan Nasional.


  1. KOMITMEN PERGURUAN SWASTA & BMPS

BMPS sebagai wadah berhimpun bagi yayasan-yayasan/badan-badan penyelenggara Perguruan Swasta (sekolah/madrasah/seminarium) di seluruh Indonesia, telah merumuskan strategi pemberdayaan dan pengembangan Perguruan Swasta & BMPS dalam Mukernas III BMPS Tahun 2010 di Manado sehingga menjadi semakin berkembang, semakin bermutu, maju/modern, kuat/kokoh/kukuh, berwibawa, terpercaya dan admired (dikagumi, disayang dan dirindukan).

Pada kesempatan tersebut Perguruan Swasta & BMPS kembali meneguhkan komitmennya untuk tetap terpanggil dan terlibat aktif mengatasi kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan kekerasan/penindasan dengan pendidikan bermutu dan terjangkau dalam semangat keswastaan/kemandirian, kebersamaan/kekeluargaan dan kepelangian, keunggulan/ profesionalisme dan wawasan kebangsaan di tengah-tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai respon konkret dan tanda setia pada amanat UUD 1945: ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Harus semakin disadari bahwa jauh sebelum lemerdekaan NKRI tahun 1945, bangsa Indonesia telah memiliki kesadaran diri yang sangat kuat bahwa pendidikan merupakan syarat hidup yang layak bagi peradaban manusia. Usaha-usaha perjuangan dan pembangunan akan berhasil lebih baik apabila semangat manusia dibuka oleh pendidikan bermutu dan sanggup membina watak dan karakter pribadi manusia.

Kesadaran inilah yang mendorong para tokoh agama dan tokoh masyarakat Indonesia mendirikan Sekolah/Madrasah/Seminaruim Swasta, dan sampai saat ini masih eksis dan aktif. Karya pendidikan yang disadari sebagai perwujudan dan pengamalan iman sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya. Selain itu merupakan perwujudan rasa kecintaan kepada Bangsa dan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Mereka menyadari bahwa dengan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, mereka telah ikut serta berjuang dalam mengatasi kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan kekerasan/penindasan. Mereka menyadari juga bahwa kebodohan dalam masyarakat akan menimbulkan kemiskinan yang akan mengakibatkan keterbelakangan masyarakat. Masyarakat yang demikian akan rentan terjadinya kekerasan/penindasan yang hanya akan menimbulkan berbagai penderitaan dalam masyarakat.

Pada awal mula-nya, kebanyakan Perguruan Swasta lahir terdorong karena situasi keprihatinan atas ketidak-berdayaan masyarakat yang memang membutuhkan pendidikan yang baik dan bermutu. Selain itu kesadaran masyarakat untuk mendirikan Sekolah/Madrasah/Seminarium Swasta juga karena Pemerintah belum mampu memberikan hak pendidikan bagi semua warga masyarakat, bangsa dan negara sesuai dengan amanat UUD 1945. Dengan tekad dan niat yang luhur para pendiri Perguruan Swasta berjuang mendirikan Sekolah Swasta berdasarkan kekhasan agama dan nasionalis-religius. Mereka menyadari bahwa pendirian Sekolah Swasta (Sekolah/Madrasah/Seminarium) merupakan partisipasi aktif dalam membangun bangsa yang cerdas, berkualitas dan kompetitif yang diharapkan mampu membantu dan menjadi partner Pemerintah dalam menyelesaikan pelbagai persoalan pendidikan anak-anak bangsa.

Konon kabarnya, Perguruan Swasta sudah ada sejak tahun 1600-an di belahan Indonesia bagian timur. Begitu juga pada tahun 1800-an di belahan Indonesia bagian barat sudah ada Perguruan Swasta. Itu semua dilakukan oleh Gereja dan Umat Kristen setempat.

Tugas dan tanggung jawab Negara Indonesia dalam bidang pendidikan yang diamanatkan oleh UUD 1945 beserta amandemennya, menandaskan bahwa negara wajib menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional untuk semua warga negara, dan semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang baik dan bermutu sebagai sarana membangun bangsa dan negara Indonesia.

Keprihatinan yang muncul saat ini adalah adanya agenda politik yang sering kali secara sistematis mempengaruhi dalam pembuatan dan pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Selain itu sebagai dampak globalisasi. Pengusaha yang berhasil di bidang industri mulai merambah ke dunia pendidikan dengan mendirikan dan/atau mendanai sekolah unggulan dengan tawaran pelbagai fasilitas bertaraf interbasional, yang tanpa disadari telah melahirkan jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, yang pintar dan yang bodoh, serta menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dialami oleh masyarakat bangsa dan negara ini.



    1. Kebodohan

Semakin bertumbuh dan berkembangnya lembaga pendidikan yang mengarah ke taraf internasional, baik yang berasal dari dalam negeri mau pun dari luar negeri, akan semakin kelihatan rendahnya cakupan layanan pendidikan bagi yang tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah yang bagus. Semakin rumitnya regulasi dan tuntutan yang harus dipenuhi oleh Sekolah-sekolah Swasta akan menyebabkan semakin sedikitnya Sekolah Swasta yang mampu bertahan.

Konsekwensinya apabila Pemerintah tidak mampu menyelenggarakan pendidikan negeri bagi mereka, maka akan semakin banyak orang yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Konsekwensi lebih lanjut adalah bahwa warga masyarakat yang menderita kebodohan menjadi bertambah. Semakin bertambahnya warga masyarakat yang menderita kebodohan, akan mengakibatkan masyarakat mengalami keterpurukan dalam segala hal. Menurut sensus 2010, masih 8,3 juta yang buta huruf.

Selama ini penyelenggara Perguruan Swasta yang banyak membantu anak-anak yang tidak mampu dan tidak mendapatkan kesempatan bersekolah di Sekolah Negeri. Pada kenyataannya masih 90% lebih anak usia dini (& TK) bersekolah di Sekolah Swasta; SD 10% lebih di Sekolah Swasta; SMP 55% di Sekolah Swasta, dan tak kurang dari 70% anak-anak SMA/SMK di Sekolah Swasta. Data tersebut sangat nyata bahwa peran sekolah swasta sangat besar dalam membantu masyarakat yang tidak mampu mendapatkan dan mengenyam pendidikan di Sekolah Negeri ((bahkan Madrasah pun, masih ±95% yang diselenggarakan oleh masyarakat (Perguruan Swasta)) .

Dengan kehendak dan kekuatan seadanya penyelenggara Perguruan Swasta telah berjuang ikut serta membangun masyarakat melalui penyelenggara pendidikan. Karena terdorong oleh kehendak yang kuat sering kali Sekolah Swasta yang didirikan masih seadanya, bahkan sering tidak memenuhi standar minimal penyelenggaraan sekolah. Sementara itu pihak Pemerintah masih belum bisa memberi bantuan dan perhatian yang sama antara Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta. Walau pun begitu nyata-nyata penyelenggaraan Sekolah Swasta merupakan bantuan yang sangat besar bagi masyarajat dan Pemerintah dalam mencapai semangat mencerdaskan bangsa. Dengan adanya sekolah yang masih seadanya masyarakat bisa mengenyam pendidikan. Sudah semestinya Pemerintah dengan segala kekuatannya membantu agar sekolah yang ada bisa maju dan berkenbang sesuai standar yang diharapkan Pemerintah mau pun standar internasional.

Adalah Pemerintah yang tidak dapat menyediakan sarana pendidikan yang baik dan cukup bagi masyarakat maka dengan demikian akan bertambahlah anak usia sekolah yang putus sekolah dan tidak bisa mengenyam pendidikan. Semakin bertambahnya anak usia sekolah yang putus sekolah dan tidak bisa sekolah akan membawa masyarakat semakin mengalami kebodohan.


    1. Kemiskinan

Berdasarkan data BPS tanggal 1 September 2006, masyarakat Indonesia masih hidup di bawah Rp. 14.000/hari. Pada bulan Februari 2005 ada 35,10 juta orang dan bertambah pada bulan Maret 2006 menjadi 39,05 juta orang. Berdasarkan data World Bank pada bulan November 2006, yang hidup di bawah Rp. 18.000/hari berjumlah 108,78 juta orang. Diperkirakan data tersebut akan bertambah, apalagi adanya krisis global yang sulit terbendung; penduduk yang berada di bawah standar akan menjadi semakin banyak. Terbukti pada sensus 2010,dari 234,2 juta jiwa penduduk Indonesia, 31,02 juta jiwa tergolong miskin.

Dengan data yang seperti itu menunjukkan akan menjadi semakin banyak penduduk bangsa ini yang tidak dapat memenuhi biaya pendidikan. Masyarakat menyadari bahwa Pendidikan adalah bentuk investasi bagi masa depan anak. Akan tetapi situasi dan kondisi masyarakat yang masih hidup dibawah standar hidup layak, tidak bisa disalahkan apabila kebanyakan masyarakat akan mengesampingkan biaya pendidikan bagi anak-anaknya. Dengan keterpaksaan hidup yang seperti itu secara pasti generasi muda penerus bangsa akan mengalami kebodohan dan kemiskinan.

Kita bersyukur Pemerintah telah menggulirkan “program sekolah gratis”. Tetapi pada kenyataannya masih banyak anak usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah gratis, program Pemerintah tersebut. Harus diakui, walau pun sekolah gratis sudah dicanangkan tetapi realitasnya masih banyak pungutan di sekolah yang akan tetap memberatkan masyarakat.

Nasib Sekolah Swasta menjadi semakin berat, karena Sekolah Swasta pasti tidak akan pernah bisa menggratiskan siswa, karena harus menggaji guru-guru dan pegawai serta memenuhi biaya oprasional sekolah. Sehingga Sekolah Swasta tidak akan pernah bisa menggratiskan biaya sekolah sebelum beban yang selama ini masih ditanggung oleh penyelenggara Sekolah Swasta lalu ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah. Dengan tidak meratanya program Pemerintah ini maka sangat terlihat adanya dikotomi antara Pendidikan Negeri dan Swasta. Hanya mewajibkan melaksanakan pendidikan gratis tanpa mengetahui dan memahami apa yang terjadi di lapangan, khususnya untuk Sekolah Swasta, pelan tapi pasti program sekolah gratis akan membuat peyelenggara Sekolah Swasta gulung tikar, dan semakin banyak orang miskin dan orang bodoh yang akan semakin terpuruk dan mengalami berbagai penderitaan.




    1. Keterbelakangan

Keterbelakangan dalam masyarakat mengakibatkan kemiskinan dan pada akhirnya menciptakan manusia-manusia yang terbelakang, yang tidak mampu menghadapi hidup karena tidak mengenyam pendidikan yang baik dan tidak bermutu. Keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa disadari telah membentuk orang akan tidak mampu bersaing dalam segala hal, sehingga menjadi kaum yang tersingkirkan dan terpinggirkan. Lebih lanjut, banyaknya manusia-manusia yang terbelakang yang membuat bangsa dan Negara Indonesia ini semakin terpuruk dan tidak mampu ikut serta dalam gerak langkah dalam masyarakat internasional.

Persoalan tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di luar negeri menjadi bukti nyata bahwa bangsa Indonesia masih terbelakang dibandingkan bangsa lain, karena belum bisa memberikan pekerjaan yang layak bagi warga negaranya. Persoalan lain, banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja sebagai ahli dibidang tertentu di Indonesia membuktikan negara yang sudah maju, yang tidak terbelakang mampu menjadi tuan di negeri orang (di negeri ini). Bayangkan, pada sensus 2010, jumlah gelandangan dan gepeng ada 15 juta orang, terbesar di dunia. Jumlah anak-anak jalanan 3,2 juta orang, pekerja di bawah umur sampai 2,8 juta orang.

Indonesia Raya mempunyai kekayaan alam yang begitu luar biasa. Namun apabila masyarakat Indonesia masih terbelakang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kekayaan alam tersebut tidak akan dimamfaatkan dengan baik bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, apabila manusia-manusia Indonesia mengenyam pendidikan yang bermutu, Negara Indonesia akan menjadi semakin maju karena tidak memerlukan lagi tenaga-tenaga ahli asing; segala kekayaan yang dimiliki negara ini pada akhirnya dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Itu kerinduan bangsa ini,


    1. Kekerasan / Penindasan

Tindak kekerasan atau penindasan biasa terjadi karena situasi yang memaksa. Orang lapar seringkali tidak lagi memahami hak dan kewajiban dalam hidupnya, akan gampang sekali menjadi korban kekerasan/penindasan dan gampang melakukan tindak kekerasan/ penindasan. Terjadinya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, yang pintar dan yang bodoh, bisa menimbulkan terjadinya kekerasan/penindasan, apalagi diperparah oleh ketidak-tajaman hati nurani dan kesadaran etis yang tidak tidak berfungsi, dan tidak terbentuknya karakter secara wajar. Tindakan kekerasan marak dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan tidak diperlukan (W.W. Charters, 197). Seringkali tindak kekerasan di sekolah berbentuk corporal punishment. Unsur terpenting corporal punishment bahwa pelakunya adalah seseorang atau sejumlah orang terdekat seperti guru, orang tua, dan lain-lainnya yang seharusnya memiliki kewenangan, kewajiban melindungi anak. Akibat dari kecenderungan tersebut akan terbentuklah pola mental dan perilaku yang lebih dekat dengan kultur kematian dari pada kultur kehidupan. Pada tahun 2009, 1891, kasus kekerasan yang di laporkan. Jumlah kasus KDRT tahun 2009 ada 154.000 kasus.

Layak dicurigai, aksi kekerasan akhir-akhir ini yang bisa-bisa “mengatas-namakan” agama atau kelompok tertentu, disebabkan oleh kebodohan, kemiskinan atau keterbelakangan.




  1. PENUTUP

Kalau pun tidak lengkap informasi diatas kiranya memadai bagi peserta siding ini. Mari kita merapatkan barisan.

KESIMPULAN SEMINAR NASIONAL

MENGRITISI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENDIDIKAN



DAN HAK HIDUP YAYASAN YANG TERANCAM BUBAR”

Diselenggarakan Pengurus BMPS Pusat

bekerja-sama dengan

Pengurus Asosiasi BP-PTSI

di Hotel Sultan, Jakarta, 23 Maret 2011
Pengantar

Pembicara Utama pada seminar nasional ini, menurut rencana semula ialah Menteri Pendidikan Nasional RI, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Namun karena Menteri tidak dapat hadir, maka kata sambutannya dibacakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Djoko Santoso. Seminar dihadiri + 400 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia, baik sebagai pengurus di BMPS dan Asosiasi BP-PTSI mau pun sebagai pengurus yayasan/badan yang menyelenggarakan Sekolah/Madrasah Swasta dan Perguruan Tinggi Swasta.

Setelah sambutan Menteri, kemudian dilanjutkan dengan Sesi I, presentasi Prof. Dr. Djoko Santoso dan Harry Tjan Silalahi, S.H. dengan dipandu oleh Dr. Chairuman Armia, M.A. (Sekjen Asosiasi BP-PTSI), dan dilanjutkan pada Sesi II yang menampilkan pembicara Prof. Dr. Sudiarto (mantan Rektor UNJ) dan Dr. H. A. Fathoni Rodli, M.Pd. (Ketua Umum BMPS Pusat) dengan dipandu oleh Drs. Jerry Rudolf Sirait (Sekretaris Umum BMPS Pusat).

Pada Sesi III hadir pembicara Dr. Bambang Wijaya, dan Drs. Beny Siallagan (Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI), Prof. Dr. Thomas Suyatno, (Ketua Umum Asosiasi BP-PTSI) dan Prof. Dr. Sofian Effendi (mantan Rektor UGM) yang dipandu oleh Rm Karolus Jande, M.H. Sedang Sesi akhir dari acara seminar ini adalah presentasi dari Dr. Aidir Amin Daud, S.H., M.H. (Dirjen AHU, Kementerian Hukum dan HAM) yang berbicara tentang Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM tentang Yayasan yang belum menyesuaikan AD dengan UU Yayasan, serta Dr. Oka Mahendra, S.H. (mantan Dirjen AHU, Kementerian Hukum dan HAM) dengan moderator Ir. Sjoufjan Awal, M.M.,M.S.E.E., P.E., (Ketua Pelaksanaan Seminar).



Kesimpulan seminar adalah antara lain:

  1. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003) Pasal 2 menyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Implikasi ketentuan ini jelas, yaitu bahwa Pendidikan Nasional harus diarahkan pada terwujudnya Negara kebangsaan, Negara kesejahteraan dan Negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila.

  2. Dari ketentuan tersebut jelaslah secara tersurat dan tersirat bahwa Pemerintah-lah yang bertanggung-jawab membiayai penyelenggaraan Pendidikan Nasional. UUD 1945 tidak mengenal ketentuan tentang tanggung-jawab warga Negara, masyarakat, atau peserta didik dalam membiayai pendidikan. Dalam Negara kesejahteraan, masyarakat sebagai warga Negara adalah pembayar pajak. Dalam penerimaan uang dari masyarakat melalui pajak itulah Pemerintah membiayai pendidikan. Kalau di Negeri Belanda, baik di Perguruan Negeri mau pun di Perguruan Swasta, pendidikan dibiayai Pemerintah. Tetapi ironisnya dalam UU No. 20/2003 banyak ketentuan yang menetapkan warga Negara, orang tua, masyarakat, bahkan peserta didik, menanggung pembiayaan pendidikan.

  3. Keberadaan UU No. 20/2003 juga memberikan perspektif baru terhadap penyelenggaraan pendidikan. Bila pada UU No. 2/1989 penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, maka dalam UU No. 20/2003, penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah dan masyarakat. Masyarakat dalam hal ini direpresentasikan dalam bentuk yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lain sejenis.

  4. Sebagai penyelenggara pendidikan, sebagian Yayasan yang ada sekarang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan dan mereka telah menjalankan fungsi pendidikan sejak dulu. Namun dengan keluarnya ketentuan tentang Yayasan yang diatur di dalam UU No. 16/2001 jo UU No. 28/2004 dan PP No. 63/2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan telah menjadi ancaman keberadaan yayasan yang sudah lama eksis. Ketentuan PP No. 63/2008 Pasal 39 menyebutkan bahwa Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya, serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.

  5. Ketentuan itulah yang menimbulkan keresahan para yayasan pendidikan. Hingga saat ini masih banyak yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan AD-nya seperti diatur di dalam PP di atas. Banyak faktor yang menyebabkan yayasan belum menyesuaikan dengan peraturan baru. Salah satunya adalah banyak para orang-orang yayasan (pembina, penasihat, dan pengurus) yang tidak mengikuti perkembangan UU Yayasan, bahkan banyak di antara mereka belum membaca UU Yayasan itu sendiri. Banyak keberadaan yayasan pendidikan di kampung-kampung yang dibentuk karena tidak dengan sengaja ingin membuat yayasan, tapi karena tuntutan legalitas tahun 1990, bahwa Sekolah/Madrasah Swasta harus dalam bentuk yayasan, dibentuklah yayasan. Dengan demikian, keberadaan yayasan berada belakangan dibanding dengan keberadaan Sekolah-sekolah/Madrasah-Madrasah tersebut. Selain itu, cukup banyak yayasan pendidikan yang menunggu lahirnya UU badan hukum pendidikan sebagai realisasi amanat UU No. 20/2003.

  6. Ketentuan likuidasi seperti di atas, selain menimbulkan keresahan juga dapat mengganggu penyelenggaraan pendidikan. Hal itu terjadi karena segala urusan dengan birokrasi pemerintah, termasuk Kementerian Pendidikan Nasional selalu mensyaratkan adanya penyesuaian dengan UU Yayasan yang baru. Bahkan sewaktu-waktu ijasah yang dikeluarkan dari sekolahnya/madrasahnya bisa tidak diakui karena diangap illegal apabila yayasan yang menaungi sekolah yang bersangkutan belum menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan. Atau, bahkan dapat terkena ancaman hukuman: diancam bubar dan kekayaannya harus dilikuidasi, hanya karena belum menyesuaikan dengan UU Yayasan.

  7. UU No. 16/2001 jo UU No. 28/2004 dan PP No. 63/2008 juga telah menghilangkan sejarah yayasan pendidikan dalam berperan serta mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Ketentuan tsb juga melanggar konstitusi yang menjamin hak setiap warga Negara untuk berkumpul dan berserikat. Mestinya peraturan perundang-undangan harus menjamin kemajemukan dan ciri khas dan harus non diskriminatif.

  8. Atas dasar fakta-fakta yang tidak adil dan tidak konstitusional tersebut maka forum seminar ini mengusulkan kepada Pengurus BMPS Pusat dan Pengurus Asosiasi BP-PTSI untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Peserta seminar tidak keberatan mendukung pembiayaan untuk melakukan judical review tersebut.

  9. Ancaman terhadap eksistensi Yayasan bukan hanya berasal dari UU Yayasan dan PP-nya saja, tapi juga dari aturan perpajakan yang ada. Sejak tahun 2000, yang ditegaskan dalam UU tentang PPh tahun 2008, bahwa deviden yayasan terkena subyek pajak. Kecuali itu, menurut ketentuan perpajakan yang baru, semua sumber penghasilan Sekolah/Madrasah dan Perguruan Tinggi berupa: uang pendaftaran dan uang pangkal, uang seleksi penerimaan siswa/mahasiswa, uang pembangunan gedung dan pengadaan prasarana, uang SPP/SKS/ujian/kursus, dan seminar/lokakarya, dan sebagainya; penghasilan dari kontrak kerja dalam bidang penelitian dan sebagainya, penghasilan lain sehubungan dengan jasa penyelenggaraan pendidikan masuk dalam kategori subyek pajak.

    1. Yang bukan obyek pajak: harta hibah, bantuan, sumbangan, sisa lebih yang ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan sarana & prasarana kegiatan.

    2. Biaya-biaya yang dikurangi: (a) biaya yang berhubungan langsung dengan usaha, pemberian jasa, biaya yang berhubungan langsung dengan operasional yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan memperhatikan Pasal 9 ayat (1) PPh; (b) penyusutan/amortasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta yang masa manfaatnya lebih dari 1 tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan 11A UU PPh; dan (c) untuk yayasan pendidikan subsidi/beasiswa yang kurang mampu.

    3. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan oleh yayasan pendidikan antara lain: (1) gaji/tunjangan/honorarium pimpinan/dosen/pengajar/karyawan; (2) biaya umum/administrasi; (3) biaya publikasi/iklan; (4) biaya kendaraan; (5) biaya kemahasiswaan; (6) biaya ujian semester; (7) biaya sewa gedung & utilities (telepon, air, listrik); (8) biaya laboratorium; (9) biaya penyelenggaraan asrama; (10) bunga bank dan biaya bank lainnya; (11) biaya pemeliharaan kampus; (12) biaya penyusutan; (13) kerugian karena penjualan/ pengalihan harta; (14) biaya penelitian dan pengembangan; (15) biaya bea siswa dan pelatihan dosen/pengajar/karyawan; (16) biaya pembelian buku perpustakaan dan alat-alat olahraga & peraga; (17) subsidi/bea siswa yang kurang mampu.


Kesepakatan:

Melakukan JUDICIAL REVIEW ke Mahkamah Konstitusi dengan biaya ditanggung renteng oleh yayasan pendidikan anggota BMPS dan Asosiasi BP-PTSI.
Jakarta, 23 Maret 2011

Tim Perumus



  1. Ki Drs. Darmaningtyas (Ketua)

  2. Drg. Johanes Tumilisar (Sekretaris)

  3. Drs. Toegino Soekarno (Anggota)

  4. Ir. Nazaruddin Hisyam, M.S. (Anggota)

  5. Dra. Hj. Pudjiwati, M.Pd. (Anggota)

  6. Drs. Ramlan Siregar, M.Si (Anggota)

  7. Ir. Agung Efriyo Hadi, M.Sc. (Anggota)

  8. Drs. Buchari Yusuf (Anggota)

  9. Drs. H. Hasan Sulur (Anggota)

  10. Hj. Jetty Purnama (Anggota)



KESIMPULAN

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN

Dalam Rangka

HARI PENDIDIKAN NASIONAL (HARDIKNAS) 2011

BMPS SE-INDONESIA

DISELENGGARAKAN PENGURUS BMPS PUSAT

BEKERJA-SAMA DENGAN

PENGURUS BMPS PROVINSI SUMATERA UTARA

DI HOTEL MADANI, MEDAN, 12 – 15 MEI 2011
Salam Cempaka Putih,

Di bawah naungan tema “MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG MERATA, BERMUTU, TERJANGKAU DAN BERMARTABAT” peringatan dan perayaan Hardiknas 2011 BMPS se-Indonesia berlangsung dangan baik dan sukses pada tanggal 12-15 Mei 2011 di Hotel Madani, Medan, Sumatera Utara.

Mengawali seminar, diadakan sosialisasi 4(empat) pilar keindonesiaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) dalam kerja-sama dengan Sekretariat Jenderal MPR-RI. Akhir dari rangkaian kegiatan adalah karya wisata peserta di Prapat & Danau Toba, Sumatera Utara, sebelum peserta kembali ke tempat masing-masing di berbagai tempat di seluruh Indonesia baik sebagai yang mewakili organisasi induk anggota BMPS Pusat/Provinsi dan BMPS di semua tingkat/tempat mau pun selaku penyelenggara dan pengelola Perguruan Swasta di Indonesia.

Seminar dibuka secara resmi oleh Wakil Ketua MPR-RI, Dr. Ahmad Farhan Hamid, M.S. dan ditutup oleh Ketua Umum BMPS Pusat, Dr. H.A. Ftahoni Rodli, M.Pd. Gubernur Sumatera Utara menyampaikan sambutan pada acara pembukaan setelah laporan Ketua Panitia, Drs. Suparno, M.Pd., dan sambutan Ketua BMPS Provinsi Sumatera Utara, Drs. H. A. Hosen Hutagalung, M.Ag., dan Ketua Umum BMPS Pusat.

Secara khusus Pimpinan MPR-RI menugasi 2(dua) orang anggota MPR-RI sebagai nara sumber pada acara sosialisasi 4(empat) pilar keindonesia, Dr. Yasona Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc. (Ketua Fraksi PDI Perjuangan dan Anggota Komisi II DPR-RI) dan Drs. Al Muzzammil Yusuf (Fraksi PKS dan Anggota DPR/MPR-RI) di pandu oleh Sekretaris Umum BMPS Pusat Drs. Jerry Rudolf Sirait.

Ada pun nara sumber pada seminar nasional pendidikan antara lain Ki Prof. Dr. Wuryadi (Ketua Majelis Luhur Tamansiswa), Prof. Dr. Thomas Suyatno ((Ketua Umum Asosiasi BP-PTSI (Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia)), Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, Ulama, Katolik dan Kristen serta Ketua Umum BMPS Pusat, Sekretaris Umum BMPS Pusat dan Ketua BMPS Provinsi Sumatera Utara dipandu oleh Ki H. Zulkarnain Mahfudz, S.H., CN (Sekretaris BMPS Provinsi Sumatera Utara, Maria Siti Wahyuandarai, S.H. (Ketua Bidang Kebijakan, Perencanaan dan Regulasi Pendidikan BMPS Pusat) dan Drs. H. Achlan Husen (Ketua BMPS Pusat).


Kesimpulan seminar adalah sebagai berikut:

  1. SOSIALISASI 4(EMPAT) PILAR KEINDONESIAAN

    1. BMPS menyambut baik segala upaya MPR-RI untuk secara nasional mensosialisasikan 4(empat pilar keindonesiaan sebagai prinsip-prinsip dasar dan filosofi keindonesiaan.

Sungguh, sejak tahun 2007, Pengurus BMPS Pusat sudah menyuarakan berkali-kali mengenai kecenderungan degradasi pemahaman mengenai 4(empat) pilar tersebut. Syukurlah bahwa MPR-RI mengagendakan sosialisasi 4(empat) pilar secara nasional.

Keempat pilar tersebut tidak terpisahkan dari Soempah Pemoeda tahun 1928, yang mestinya menjadi habitus bagi masyarakat Indonesia, Pemerintah dan rakyatnya.



    1. BMPS merasa terpanggil pada upaya rekonsientisasi secara terus menerus dengan memperhatikan hal-hal berikut:

        1. tidak terjebak pada kecenderungan indoktrinasi pragmatism;

        2. bersama-sama mendari-temukan solusi terbaik dari persoalan-persoalan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan akhir-akhir ini yang sudah tiba pada kondisi memprihatinkan.

    2. BMPS berketetapan hati (commited)

        1. mengatasi kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan kekerasan/penindasan dengan pendidikan yang merata, bermutu, terjangkau dan bermartabat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika;

        2. setia melaksanakan amanat UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa menuju Indonesia Raya yang kita cita-citakan, masyarakat adil, makmur dan sejahtera di tengah-tengah era globalisasi dan masyarakat majemuk serta akselerasi perkembangan IPTEKNI (ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni/kesenian).




  1. KORELASI PENDIDIKAN YANG MERATA, BERMUTU, TERJANGKAU DAN BERMARTABAT DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA.

    1. Merata, bermutu, terjangkau dan bermartabat adalah criteria ideal bagi pendidikan di Indonesia sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

    2. Pendidikan yang merata dan terjangkau, merupakan tuntutan mendasar akan tetapi untuk menjangkau tujuan pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pendidikan yang bermutu dan bermartabat menjadi tuntutan dan tantangan bagi seluruh komponen bangsa.

    3. Pendidikan bermartabat yang selaras dengan peradaban dan budaya bangsa sendiri saat ini justru perlu dijadikan ukuran yang nyata. Dengan demikian pendidikan yang merata, terjangkau, bermutu dan bermartabat, lebih membutuhkan perubahan karkater semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan bangsa ini.

    4. Pendidikan karakter tidak dapat dilakukan secara sepihak, dibutuhkan suatu bentuk kerja “kokreasi” antar pihak yang memang berkenpentingan, termasuk pihak yang dididik sebagai subjek.

    5. Karakter yang memuliakan kemanusiaan (budaya yang memanusiakan manusia) perlu lebih ditekankan di masa mendatang melalui pendidikan karakter, karena tanpa karakter yang baik manusia akan kehilangan segala-galanya termasuk kehilangan kemanusiaannya.

    6. Pemerataan pendidikan, pendidikan yang terjangkau, pendidikan bermutu dan pendidikan bermartabat hanya akan dapat terwujud, kalau terjadi perubahan karakter dan cara berpikir semua pihak para pelakunya. Oleh karena itu melalui perubahan cara berpikir dan karakter para pelaku pendidikan, maka pendidikan karakter bagi subjek didik dapat berjalan lebih baik.

    7. Kriteria pendidikan yang ideal yaitu merata, terjangkau, bermutu dan bermartabat dapat tercapai kalau karakter para pelaku pendidikan dapat diubah terlebih dahulu.

    8. Pendidikan Karakter dan budaya bangsa merupakan komitmen BMPS untuk mengatasi “4K”, yaitu: kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan kekerasan/penindasan.

    9. Pendidikan dalam keluarga adalah yang utama dan pertama, sehingga diarahkan agar Perguruan Swasta membangun sinergi yang harmonis dengan orang tua, masyarakat, Pemerintah dan segenap pihak terkait untuk menciptakan lingkungan dan suasana yang kondusif demi kesejahteraan bersama.




  1. REGULASI PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN PERGURUAN SWASTA

    1. Perguruan Swasta harus bersikap kritis-proaktif dalam mencermati dan mengkritisi segenap regulasi pendidikan.

    2. Perguruan Swasta harus bersama bergerak maju dalam segenap perjuangannya mengemban tanggung jawab social dan tanggung jawab moral demi ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

    3. Perguruan Swasta harus mempertahankan prinsip dasar hak-hak keswastaannya, yaitu: hak sejarah, hak asasi kehidupannya, kebhinnekaannya/kemajemukannya, non-diskriminasi dan non-etatisme.

    4. Mendukung penuh kesepakatan dan kesepahaman antara Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) dengan Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Asosiasi BP-PTSI) untuk bersama-sama mengajukan judicial review atas UU No. 16/2001 dan UU No. 8/2003 serta PP No. 63/2008.




  1. SINERGITAS EKSISTENSI PENDIDIKAN UMUM DENGAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN

    1. Pembangunan di sini adalah pembangunan manusia (human development). UNESCO telah mengeluarkan ukuran pembengunan manusia, yaitu “human development index” atau di Indonesia dipergunakan parameter indek pembangunan manusia (IPM) yang harus dilihat dari pendidikan, kesehatan, dan kemampuan social. Untuk selanjutnya pembangunan di sini hanya pembangunan pendidikan serta tinjauan dari pendidikan karakter.

    2. Pendidikan agama harus bersinergi dengan pendidikan umum, artinya bidang studi dalam mengajarkan setiap pokok bahasan sedapat-dapatnya “dijiwai nilai agama-agama”.

    3. Pendidikan agama harus menjadi bahan utama pendidikan karakter dan budaya peserta didik.

Medan, 13 Mei 2011

Tim Perumus:


  1. Drs. H. Achlan Husen (Ketua)

  2. Ki. H. Zulkarnaen Mahfudz, S.H., CN (Sekretaris)

  3. Koprawi Nasution, S.H., M.Pd. (Anggota)

  4. Maria Siti Wahyuandari, S.H. (Anggota)

  5. Ki Harjono Pastowo Kusumo (Anggota)

  6. Ki Drs. Priyo Mustiko (Anggota)

  7. Ki Azhar Miraza (Anggota)

  8. Hj. Jetty Purnama (Anggota)

  9. Hj. Halijah Ayub Sutrisno (Anggota)

  10. Dra. Hj. Pujiwati, M.Pd. (Anggota)



PENGURUS BMPS PUSAT


Dr. H. A. Fathoni Rodli, M.Pd. Drs. Jerry Rudolf Sirait

LAMPIRAN



REFLEKSI

PENGURUS BMPS PUSAT

DALAM RANGKA

HARI PENDIDIKAN NASIONAL (HARDIKNAS) TAHUN 2012

DITUJUKAN KEPADA PENGURUS BMPS DISEMUA TEMPAT/TINGKAT

DAN PARA PENYELENGGARA DAN PENGELOLA PERGURUAN SWASTA

DISELURUH INDONESIA

Salam Cempaka Putih, Salam BMPS

Tepatlah jika pada kesempatan Hardiknas Tahun 2012 ini kita menundukkan kepala (tafakur) mengenang jasa para pahlawan dan pejuang pendidikan, baik sebelum maupun sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia. Kita patut berjanji setia melanjutkan perjuangan dan pengabdian/pelayanan mereka seraya meneguhkan komitmen mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat UUD RI Tahun 1945 dan Pancasila dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika dan semangat Sumpah Pemuda Tahun 1928. Kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kita dimampukan oleh-Nya menampak-nyatakan kesetiaan dan komitmen tersebut dalam mengisi kembali kemerdekaan yang sudah dimiliki Bangsa dan Negara Indonesia sejak tahun 1945. Kita pun berdoa semoga Pemerintah sungguh-sungguh mengawal kemerdekaan Perguruan-perguruan Swasta mengambil bagian secara aktif dalam rangka merealisasikan pendidikan yang merata, berkembang, bermutu/berkualitas dan bermartabat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Adalah suatu fakta historis yang tidak bisa dilupakan oleh kita sekalian, termasuk oleh Pemerintah dan masyarakat umum lainnya bahwa yang memimpin departemen yang menangani pendidikan dan pengajaran pada awal kemerdekaan RI ialah tokoh Perguruan Swasta, dalam diri Ki Hadjar Dewantoto sebagai Menteri Pengajaran pada Kabinet Presidentil periode 19 Agustus s.d. 14 November 1945 dan Dr. T.S.G. Mulia (lebih dikenal kemudian: Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia Harahap) sebagai Menteri Muda Pengajaran pada Kabinet Syahrir I periode 14 November 1945 s.d. 12 Maret 1946 dan pada Kabinet Syahrir II periode 12 Maret 1946 s.d. 2 Oktober 1946. Bersama beliau-beliau ada begitu banyak cerdik pandai dilingkungan Departemen Pengajaran di tingkat pusat dan daerah-daerah yang “erat hubungannya dengan” Perguruan Swasta, baik sebagai pendiri atau/dan penyelenggara maupun sebagai pengelola, guru, dan lain-lain. Dari 35 Menteri Pengajaran, Menteri Pendidikan dan Pengajaran, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak awal kemerdekaan sampai sekarang ini, hampir semuanya memiliki hubungan dengan Perguruan Swasta dan tidak sedikit dari mereka yang lulus dari Perguruan Swasta, termasuk Menteri Bambang Sudibyo dan Menteri Muhammad Nuh, dua menteri terakhir, adalah tokoh di Perguruan Swasta. Demikian pula petinggi di republik ini, dari dulu sampai sekarang, di pusat dan di daerah-daerah, di birokrasi pemerintah, TNI, dan Kepolisian, adalah lulusan Perguruan-perguruan Swasta. Kita berkeyakinan bahwa Pemerintah sekarang ini dan pada masa yang akan datang senantiasa sejarah sebagaimana diungkapkan sepintas di atas.

Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menegaskan tidak ada dikotomi antara Perguruan Negeri dan Perguruan Swasta; tidak boleh terjadi perlakuan diskriminatif terhadap Perguruan Swasta; Perguruan Swasta dilindungi Negara berdasarkan UU. Perlahan-lahan tapi pasti, semua regulasi dan kebijakan Pemerintah (di pusat dan di daerah) di Bidang Pendidikan tetap menghargai sepenuhnya sejarah dan keberadaan/eksistensi Perguruan Swasta di Indonesia.

Oleh sebab itu kami menghimbau semua penyelenggara dan pengelola Perguruan Swasta dilingkungan BMPS di semua tempat/tingkat, supaya tetap tenang serta arif dan bijaksana menghadapi berbagai regulasi dan kebijakan Pemerintah di bidang pendidikan seraya tetap meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan sekolah masing-masing dengan selalu dalam semangat kemitraan yang saling menopang dan saling menjadi dekat dengan Pemerintah, sesama pemangku kepentingan pendidikan dan masyarakat umum lainnya. Kami tetap menghimbau agar kita semua melakukan pendekatan persuasif akademis dalam sopan santun keindonesiaan kepada siapapun yang terkait dengan Perguruan Swasta, termasuk kepada Pemerintah (di pusat dan di daerah-daerah). Ingat! Demo dan sejenisnya bukanlah forum yang tepat menyuarakan aspirasi Perguruan Swasta, lain hal sudah mengalami kebuntuan akhir (jika ternyata harus melakukan demo, baiklah itu dilakukan dalam damai dan semangat keindonesiaan tanpa merugikan dan tidak melibatkan peserta didik didalamnya)!.

Mengenai permasalahan yang kita hadapi, terutama menyangkut regulasi dan kebijakan Pemerintah, kami memberikan informasi dan penegasan sikap sebagai berikut:

Permendikbud RI No.60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada SD dan SMP.


  1. LANDASAN PERMOHONAN EKSEKUTIF REVIEW atas Permendikbud RI No.60 Tahun 2011 telah melanggar:



  1. Secara formil,

Permendikbud RI No.60 Tahun 2011 telah mengabaikan prinsip-prinsip yang terkandung didalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-undangan, sebagaimana tercantum di dalam pasal 5 huruf d dan huruf f; Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf h; Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (3);

  1. Secara materil,

Permendikbud RI No. 60 Tahun 2011, telah menyimpang bahkan mereduksi bunyi pasal-pasal yang tercantum didalam peraturan diatasnya disamping terkesan tumpang tindih dengan Permendikbud RI yang lain.

  1. Pengertian istilah “Biaya Pendidikan”

Pasal 2 ayat (3) menyebutkan: “Pemenuhan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Bantuan Operasional Sekolah”.

Biaya pendidikan yang dimaksud dalam Permendikbud tersebut tidak tepat, mengingat ketentuan pasal 3 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang meliputi :



  1. Biaya satuan pendidikan;

  2. Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan

  3. Biaya pribadi peserta didik.

PP No.48 Tahun 2008, pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa: Pendanaan untuk satuan pendidikan dasar pelaksana program wajib belajar yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditanggung Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah itu hanya terbatas pada biaya non personalia. Sedangkan untuk biaya personalia dan biaya investasi tetap menjadi tanggung jawab penyelenggara atau satuan pendidikan.

Dalam Lampiran Permendikbud RI No. 51 Tahun 2011, tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun 2012, dinyatakan tentang pengertian BOS yaitu: “BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah penyediaan pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar”. Secara khusus, salah satu tujuan program dana BOS adalah untuk: meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah Swasta.



  1. Sanksi

Permendikbud RI No.60 Tahun 2011 telah memperlakukan sekolah swasta secara tidak sama kedudukannya dalam hukum dan Pemerintahan. Hal ini terlihat pasal 9 ayat (1) huruf c mengenai sanksi, yang menyatakan “…. untuk sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat berupa pencabutan ijin penyelenggaraan”.

Sanksi tersebut telah melanggar ketentuan Perundang-undangan yang secara hirarki lebih tinggi, yaitu PP No.48 Tahun 2008 yang dalam pasal 53 menyatakan bahwa: “Menteri atau Menteri Agama, sesuai kewenangan masing-masing, dapat membatalkan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 apabila melanggar peraturan perundang-undangan atau dinilai meresahkan masyarakat.”

Dalam Peraturan Pemerintah yang berlaku, pemberian sanksi penutupan pada satuan pendidikan, bukanlah pelanggaran yang terkait dengan pungutan.

Sanksi Administrasi yang diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008, tentang wajib belajar, pasal 5 ayat (4), dapat berupa teguran, penghentian pemberian bantuan, hingga penutupan satuan pendidikan. Namun pemberian sanksi ini diberikan apabila Satuan pendidikan dasar penyelenggara melanggar kewajiban menerima peserta didik dari lingkungan sekitarnya tanpa diskriminasi sesuai daya tampung satuan pendidikan yang bersangkutan.

Permendikbud RI No.60 Tahun 2011, telah mengabaikan keberadaan Badan Hukum penyelenggara sekolah-sekolah swasta dan hal ini jelas-jelas akan membuat hubungan antara satuan pendidikan dengan badan hukum penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan, menjadi tidak nyaman. Pengabaian atas keberadaan badan hukum penyelenggara berarti penyimpangan atas peraturan diatasnya dan tidak selaras dengan peraturan-peraturan Mendikbud RI yang lain yang telah ada.



  1. Secara Teknis Operasional

Berdasarkan bunyi pasal 7, Secara teknis Permendikbud No.60 Tahun 2011 mestinya belum bisa diberlakukan sebelum terbitnya Peraturan Menteri yang mengatur mengenai persetujuan pungutan biaya selain biaya operasi sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6.

  1. KONDISI LAPANGAN DI WILAYAH JAWA BARAT



  1. Dengan terbitnya Permendikbud RI No.60 Tahun 2011, sekolah-sekolah swasta di Jawa Barat telah sering didatangi banyak LSM yang mempertanyakan tentang pemberlakuan permendikbud tersebut.

  2. Bahwa kondisi tersebut telah menimbulkan ketidak nyamanan bahkan meresahkan para penyelenggara/pengelola sekolah swasta yang pada gilirannya akan mengganggu dan mempengaruhi kinerja ditingkat satuan pendidikan.



  1. Bahwa dilihat dari sisi kesejarahan maupun dari sisi kenyataan di lapangan, sekolah-sekolah swasta akan sangat sulit untuk bisa melaksanakan Permendikbud No.60 Tahun 2011, karena keberadaan dan keberlangsungan sekolah-sekolah swasta justru berkat dukungan dan terbangunnya kebersamaan antara penyelenggara/ pengelola dan masyarakat yang mempercayakan anak-anaknya pada sekolah-sekolah yang bersangkutan.



  1. Bahwa pada tanggal 26 April 2012, BMPS Provinsi Jawa Barat, telah menyampaikan berbagai kondisi di lapangan terkait dengan terbitnya Permendikbud No.60 Tahun 2011 Tentang larangan pungutan biaya pendidikan pada SD dan SMP, kepada Kemdikbud yang diterima oleh Bapak Prof. Suyanto, Ph.D, Dirjen Dikdas Kemdikbud Republik Indonesia.



  1. Bahwa dalam menanggapi berbagai masukan yang disampaikan Pengurus BMPS Provinsi Jawa Barat , yang di dampingi oleh Sekjen BMPS Pusat, Prof. Suyanto, Ph.D menyarankan agar seluruh pihak terkait, LSM dan Orang tua Siswa diberi penjelsan bahwa Kemdikbud tengah melakukan review dan akan merevisi Permendikbud No.60 Th 2011 seperlunya.



  1. Bahwa sebelum terbit Permendikbud hasil revisi atas Permendikbud No.60 Th 2011 dimaksud, sekolah-sekolah swasta akan berpegang pada Permendikbud No.51 Tahun 2011 menetapkan bahwa tujuan khusus program BOS adalah untuk meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta.



  1. Jawaban Bapak PROF. SUYANTO, Ph.D., Dirjen Dikdas Kemdikbud RI



  1. Permendikbud RI No.60 Tahun 2011 ini AKAN DIREVISI

Pertanyaan saya adalah, mengingat bahwa Revisi Permendikbud belum diterbitkan, sementara Permendikbud RI No.60 Tahunh 2011 ini tidak dicabut dan sudah berlaku, apa yang harus dilakukan penyelenggara swasta saat ini terkait dengan pungutan yang selama ini telah dijalankan?

  1. Saran Bapak PROF. SUYANTO, Ph.D.



  1. Jelaskan kepada Orang Tua Siswa, LSM dan/atau seluruh pihak terkait bahwa BMPS sudah mengadakan audiensi pada tanggal 26 April 2012 dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bahwa Permendikbud RI No.60 Tahun 2011 AKAN DIREVISI.



  1. Dengan demikian, sampai dengan adanya Revisi Permendikbud tersebut, Sekolah Swasta Masih Diperbolehkan Melakukan Pungutan Biaya Pendidikan.



  1. Terkait Amar putusan Mahkamah Konstitusi No.58/PUU-VIII/2010 yang mengadili pasal 55 ayat (4) UU No.20 Tahun 2003 tentang sisdiknas, yang menghapus kata dapat dalam ayat (4) yang berbunyi: Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memeroleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, ternyata masih belum dilaksanakan secara efektif,baik oleh Pemerintah, maupun Pemerintah daerah, antara lain :



  1. Ketika Pemerintah/Pemerintah Daerah membuka Unit Sekolah Baru (USB) masih mengabaikan ketentuan sebagaimana yang tercantum di dalam PP No.66 Tahun 2010 pasal 184 ayat (3) huruf (c), huruf (d), dan huruf (e), yang berbunyi : “Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud ayat (1) pendirian satuan pendidikan harus melampirkan (c) data mengenai perimbangan antara jumlah satuan pendidikan formal dengan penduduk usia sekolah di wilayah tersebut; (d) data mengenai perkiraan jarak satuan pendidikan yang diusulkan diantara gugus satuan pendidikan formal sejenis; (e) data mengenai kapasitas daya tampung dan lingkup jangkauan satuan pendidikan formal sejenis yang ada;



  1. Dalam kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB/PSB), Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, masih belum bisa menegakkan peraturan yang dibuatnya yang indikatornya bisa dilihat pada pembiaran atas pelanggaran yang dilakukan oleh kebanyakan sekolah Negeri. Akibatnya pelanggaran-pelanggaran serupa terus berulang setiap tahun tanpa ada sanksi apapun dari pihak yang berwewenang. Ekses yang paling dirasakan oleh sekolah-sekolah swasta adalah disaat awal tahun pelajaran dimulai, ternyata siswa yang sudah duduk di ruang kelas kemudian menghilang dan ketahuan sudah mulai belajar di sekolah negeri. Pahit, memang, tapi itulah kenyataan yang banyak ditemukan di Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat. Padahal peraturan cukup jelas sebagaimana tercantum di dalamPP No.17 Tahun 2010 pasal 72 ayat (2) yang menyebutkan: (2) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyalurkan kelebihan calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada satuan pendidikan dasar lain.



  1. Bantuan ruang kelas, baik rehab maupun ruang kelas baru untuk sekolah-sekolah swasta dirasakan masih tersendat dan banyak hambatan, termasuk juga didalamnya tunjangan-tunjangan untuk tenaga pendidik yang sudah menjadi hak mereka, alirannya masih belum lancar. Apalagi yang menyangkut tunjangan fungsional yang quotanya terus berkurang. Disisi lain, kucuran Bantuan Operasinal Sekolah (BOS) yang sering datang terlambat, menambah beratnya beban yang harus dipikul sekolah-sekolah swasta. Para penyelenggara/pengelola sekolah mesti pontang-panting cari pinjaman sebab kesejahteraan guru/karyawan menjadi prioritas agar kegiatan pembelajaran bermutu tetap berjalan sebagaimana harusnya.



  1. Apa yang dikemukakan diatas adalah kenyataan yang ada di lapangan dan dialami oleh sebagian besar sekolah-sekolah swasta. Bisa dibayangkan apabila Permendikbud No.60 Tahun 2011 Tentang larangan pungutan biaya pendidikan itu diberlakukan. Kita yakin Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud akan lebih arif dalam memperlakukan sekolah-sekolah sewasta sejalan dengan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VIII/2010, yang pada intinya Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan mereta.


PENGURUS BMPS PUSAT

Ketua Umum Sekretaris Umum



Dr. A. Fathoni Rodli M.Pd Drs. Jerry Rudolf Sirait





1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, edisi ketiga, Thn 2007


2 Karya K.H.Dewantara, bagian pertama: Pendidikan, diterbitkan oleh Majelis Luhur Taman Siswa Jogyakarta, cetakan Ketiga, Tahun 2004, hal.14.

3 UU No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

4 PENDIDIKAN KARAKTER (http://www.ncpublicschools.org/charactereducation

5 IRE)- Pendidikan Karakter Butuh Contoh Nyata, Yogyakarta, Kompas, Kamis, 15 April 2010 | 14:45 WIB http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/15/1445357/pendidikan.karakter.butuh.contoh.nyata

6 Untuk panduan lebih lanjut dalam melakukan diskusi kelas produktif (termasuk metode Sokrates), pergi ke www.goodcharacter.com dan klik pada "teknik diskusi."

7 Untuk petunjuk rinci tentang cara menerapkan KKN di sekolah Anda (serta daftar panjang mil dari contoh proyek) kunjungi www.goodcharacter.com dan klik "KKN."

8 Jika Anda ingin membantu merancang rencana pelajaran untuk pendidikan karakter, kunjungi www.goodcharacter.com dan klik pada "panduan mengajar"

9 Doni Koesoema A, Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, US, Pendidikan Karakter Integral Pendidikan Karakter Integral, Kamis, 11 Februari 2010 | 05:14 WIB

10 diberitakan oleh khc, ”Sekolah Harus Ada Pendidikan Karakter” dikatakan Rizal Effendi, Wakil Walikota Balikpapan, pada usai menghadiri Muharram Fair SDIT Mutiara Rahmah, di BalikPapan Senin 26 Januari 2009

11 Triyo Supriyatno, Pendidikan Karakter di Sekolah, dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995


25 Jun 2009, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:QWviF_r7AZ4J

:kahmiuin.blogspot.com/2009/06/pendidikan-karakter-di sekolah.html+pendidikan+karakter+di+sekolah&c



=10&hl=id&ct=clnk&gl=id

12 Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA) and Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation Posted by admin | Posted in Pendidikan & Psikologi | Posted on 03-04-2010 | 1,794 views, Tags: pacu nilai akademik, pendidikan karakter, prestasi belajar meningkat, program pendidikan, sistem pendidikan, tingkatkan IQ

13 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, edisi ketiga, Thn 2007


14 Karya K.H.Dewantara, bagian pertama: Pendidikan, diterbitkan oleh Majelis Luhur Taman Siswa Jogyakarta, cetakan Ketiga, Tahun 2004, hal.14.

15 UU No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

16 Pembukaan UUD 1945, alinea ke 4

17 RM.A.B. Kusuma, Pengantar oleh Prof.Dr.Jimly Ashiddiqie, SH Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2004, hal.345

18 Idem, hal,458

19 Idem, hal,443

20 pembagian definisi ini bisa dibaca dalam tulisan Susan Fountain mengenai Peace Education in UNICEF terbitan Juli 1999

21 Kalau nggak salah, pembagian definisi ini ada dalam tulisan Gavriel Solomon dalam buku Peace Education terbitan tahun 2002.


Download 0,64 Mb.

Do'stlaringiz bilan baham:
1   2   3   4   5   6   7




Ma'lumotlar bazasi mualliflik huquqi bilan himoyalangan ©hozir.org 2024
ma'muriyatiga murojaat qiling

kiriting | ro'yxatdan o'tish
    Bosh sahifa
юртда тантана
Боғда битган
Бугун юртда
Эшитганлар жилманглар
Эшитмадим деманглар
битган бодомлар
Yangiariq tumani
qitish marakazi
Raqamli texnologiyalar
ilishida muhokamadan
tasdiqqa tavsiya
tavsiya etilgan
iqtisodiyot kafedrasi
steiermarkischen landesregierung
asarlaringizni yuboring
o'zingizning asarlaringizni
Iltimos faqat
faqat o'zingizning
steierm rkischen
landesregierung fachabteilung
rkischen landesregierung
hamshira loyihasi
loyihasi mavsum
faolyatining oqibatlari
asosiy adabiyotlar
fakulteti ahborot
ahborot havfsizligi
havfsizligi kafedrasi
fanidan bo’yicha
fakulteti iqtisodiyot
boshqaruv fakulteti
chiqarishda boshqaruv
ishlab chiqarishda
iqtisodiyot fakultet
multiservis tarmoqlari
fanidan asosiy
Uzbek fanidan
mavzulari potok
asosidagi multiservis
'aliyyil a'ziym
billahil 'aliyyil
illaa billahil
quvvata illaa
falah' deganida
Kompyuter savodxonligi
bo’yicha mustaqil
'alal falah'
Hayya 'alal
'alas soloh
Hayya 'alas
mavsum boyicha


yuklab olish